SW News : Menyatukan X-Men dan Avengers tak semudah membalik telapak tangan.

Menyatukan X-Men dan Avengers tak semudah membalik telapak tangan
HOBIQQ,Disney telah mencaplok 21st Century Fox melalui sebuah merger senilai Rp861 triliun, Kamis (14/12/2017). Dalam dunia bisnis, akuisisi seperti ini hal biasa, meski besaran angkanya memang spektakuler. Namun bagi penggemar film, khususnya superhero, ini hal besar.
Seperti diketahui genre pahlawan supersaat ini sedang naik daun dalam kancah box office. Dari 17 film, waralaba Marvel Cinematic Universe keluaran Disney dan Marvel Studios sudah menghasilkan duit sebesar US $13,5 miliar (Rp183,26 triliun) dari seluruh dunia. GAME BANDARQ
Dengan akuisisi terhadap Fox, Disney memegang kendali nyaris penuh atas semesta komik Marvel. Kini, waralaba superhero Marvel yang dimiliki Fox, sepertiX-Men dan Fantastic Four berada satu atap dengan semesta Marvel Cinematic Universe (MCU) milik Disney/Marvel Studios.
Marvel akan memiliki opsi lebih banyak untuk meramu cerita MCU agar lebih sesuai dengan komiknya. Sebab, sekarang tokoh-tokoh X-Men seperti Wolverine dan Cyclops bisa menjadi anggota Avengers--atau menjadi musuh, seperti yang pernah dikomikkan beberapa tahun lalu.

Tantangan Disney untuk memulai dari nol

Perjalanan superhero Marvel yang mampir di Fox sejak X-Men (2000) tak selamanya mulus. Jika patokannya adalah Rotten Tomatoes, dari 13 film X-Men ada tiga yang "busuk" dengan rating terendah, yakni 38 persen untuk X-Men Origins-Wolverine (2009).
Fantastic Four lebih parah. Tiga film yang pernah dirilis Fox semuanya hancur dilempari "tomat busuk" oleh kritikus. Mulai dari Fantastic Four: The Rise of Silver Surfer, 2007 (37 persen), Fantastic Four, 2015 (27 persen), hingga Fantastic Four, 2015 yang kebagian hanya 9 persen.
Disney memang tidak perlu melanjutkan yang "busuk-busuk". Mereka hanya perlu menciptakan dan mengenalkan ulang pada para penonton. Namun dengan pandangan negatif masyarakat terhadap film-film Fantastic Four, itu jelas tidak mudah.

Bagaimana nasib yang telanjur bagus, tapi tak sesuai trah Disney?

Ada busuk ada juga yang segar. Beberapa film X-Men amat berprestasi di mata kritikus. Contohnya Logan (2017) yang mampu meraih 93 persen. Atau Deadpool (2016) dengan 83 persen. Namun ini juga masalah untuk Disney.
Apa kesamaan kedua film itu? Rating Logan dan Deadpool sama-sama R (Restricted, artinya penonton usia di bawah 17 tahun harus ditemani orangtua atau orang dewasa saat ke bioskop), dengan tema berat dan banyaknya porsi adegan kekerasan yang ditampilkan dalam layar.
Disney jelas tidak identik dengan rating R. Film Disney terakhir dengan rating R adalah Apocalypto (2006) yang dirilis melalui Touchstone Pictures. Spesialisasi Disney adalah film hiburan ringan yang bisa ditonton seluruh anggota keluarga. Itulah mengapa kekerasan tidak pernah ditampilkan secara eksplisit dalam film-film MCU.
Coba bayangkan kalau tokoh Deadpool (Ryan Reynolds) tidak pernah mengumpat, tidak mencincang, dan tidak menembaki lawannya secara membabi buta. Sangat "tidak Deadpool" dan pastinya menyimpang jauh dari versi komik.
Untungnya, pentingnya rating R untuk memuaskan penggemar disadari oleh Disney. Dilansir dari Comingsoon, CEO Bob Iger menyatakan bahwa ada masa depan untuk film-film Marvel dengan rating R.
"Jelas sekali Deadpool akan selalu menjadi jenama milik Marvel. Namun kami pikir ada kesempatan untuk jenama Marvel rating R, untuk sesuatu seperti Deadpool. Selama kami memastikan penonton tahu arah filmnya kemana, kami pikir kami bisa melakukannya dengan baik," ujar Iger.

Cerita berimpitan

Saat ini MCU dan X-Men berdiri sendiri. Menggabungkan kedua kelompok (Avengers dan X-Men) dalam satu film tentu bukan pekerjaan mudah. Disney harus putar otak dan kerja keras, apalagi masing-masing waralaba filmnya sudah berjalan sangat jauh.
X-Men saja sudah punya dua versi yang terjahit dalam satu rangkaian cerita. Sementara MCU terdiri dari 17 film, yang teranyar adalahThor: Ragnarok.Contoh impitan ini paling jelas adalah MCU dan X-Men punya karakter yang sama, tapi diperankan aktor berbeda.
Tokoh itu adalah Quicksilver yang dalam waralaba X-Men dibintangi oleh Evan Peters, sementara dalam Avengers: Age of Ultron (2015) dibintangi Aaron Taylor Johnson.
Dalam komik, ayah Quicksilver adalah Magneto. Namun dalam film-film MCU, asal usul Quicksilver tak pernah dijelaskan karena Magneto masih merupakan properti Fox. Jelas sulit menjelaskan hal-hal semacam ini pada masa depan.

Masih lama

Impitan cerita di sana-sini diperparah dengan penjadwalan beberapa film yang sudah dilakukan kedua pihak. Tak seperti bioskop di Indonesia yang penayangan filmnya seperti pasar kaget, film-film Hollywood punya jadwal pasti hingga lima tahun ke depan.
Pada 2018 MCU masih punya Black Panther dan Avengers: Infinity War. Lalu hingga 2021 ada berbagai film sepertiAnt-Man and The WaspCaptain Marvel, sekuel Avengers: Infinity War, sekuel Spider-Man: Homecoming, dan film ketiga Guardians of the Galaxy.
Fox juga sudah punya berbagai proyek untuk beberapa tahun mendatang seperti X-Men: Dark Phoenix, New Mutants, dan sekuel Deadpool. Namun belum jelas apakah mereka dirilis sebagai filmnya Marvel Studio atau masih bikinan Fox.
Kesimpulannya, penggemar harus menunggu lama jika ingin melihat Iron Man bertarung melawan Magneto dalam sebuah film. Paling cepat hal itu baru bisa terjadi pada 2022.

Apa yang digarap?

Kisah yang bisa diambil ada banyak. Yang paling cocok tampaknya adalah seri komik Avengers vs X-Men (2012) yang terdiri dari 12 buku. Kisahnya bermula saat entitas kosmos Phoenix Force memasuki Bumi, lalu X-Men dan Avengers menanggapinya dengan perbedaan pendapat.
Para mutan X percaya bahwa Phoenix Force akan memastikan kelahiran kembali spesies mutan, sementara Avengers yakin kehadiran entitas itu akan memusnahkan seluruh kehidupan di Bumi. Kedua kelompok superhero itu pun berkelahi. GAME POKER
Cerita ini bisa jadi awal dari reboot film-film Marvel yang digenggam Disney. Karena jagoan biasanya berkelahi dulu, baru berkawan.

INGIN JUTAAN RUPIAH ? KLIK DI SINI

No comments

Powered by Blogger.